Pada masa perang dingin ada beberapa hal yang mempunyai kaitan erat dengan
perkembangan teknologi dan informasi,dan beberapa hal tersebut memunculkan
rivalitas antara dua pihak utama yang berseteru dalam perang dingin .Tapi
rivalitas itu tidak selalu membawa kerugian .Berikut adalah beberapa bentuk
rivalitas dalam perang dingin :
1.
Luar Angkasa
Perang dingin ini juga membawa pengaruh besar pada
perkembangan keruangangkasaan yang kita miliki.Mungkin jika tidak ada perang
dingin, kita tidak akan tahu bagaimana bentuk tata surya kita. Pada saat itu
kedua negara yang bersengketa saling berlomba-lomba menunjukkan kepada dunia
bahwa negara merekalah yang paling baik dengan menyebarkan doktrin-doktrin yang
mereka miliki.
Karena untuk meningkatkan gengsi negara mereka maka
mereka sama-sama berlomba untuk meluncurkan roket ke luar angkasa. Hasilnya,
kita semua menjadi tahu bahwa sebenarnya kita ada pada tata surya apa, kemudian
bagaimana bentuknya. Terlepas dari siapa yang pertama kali mengabarkan berita
ini, namun dengan adanya perang dingin ini secara tidak langsung juga berdampak
pada perkembangan ilmu pendidikan keruang angkasaan kita.
2.
Perlombaan Teknologi
Pada masa perang dingin sains dan teknologi yang
terpaut dengan kegiatan militer mendapat sorotan yang lebih dari pemerintah.
Pemerintah bersedia mengeluarkan dana yang besar demi kemajuan iptek di negara
mereka.
Pada periode ini tumbuh disiplin-disiplin ilmu yang
mempelajari dampak sains pada masyarakat. Di negara-negara maju, teknologi di
era modern bukan lagi urusan individu atau komunitas berskala kecil. Teknologi
modern mempunyai tujuan-tujuan nasional pada wilayah ideologi, militer, ataupun
ekonomi dan bentuk kesadaran nasional untuk menggali sumber-sumber alam yang
ada. Ini juga bertujuan untuk mewujudkan produksi barang dengan skala yang
besar.
3.
Kegiatan Spionase
Perebutan hegemoni selama perang dingin antara Uni
Soviet dan Amerika Serikat terhadap berbagai kawasan baik di Eropa, Asia,
Amerika, dan Afrika selalu didukung oleh kegiatan agen intelijen yang mereka
miliki.
Kegiatan Spionase (mata-mata) tercermin dari tindakan
yang dilakukan oleh agen spionase kedua belah pihak yaitu antara KGB dan CIA.
KGB (Komitet Gusudarstvennoy Bezopasnosti) merupakan dinas intelegen sipil atau
dinas rahasia Uni Soviet sedangkan CIA (Central Intelligence Agency) yang
merupakan dinas rahasia Amerika Serikat yang bertugas untuk mencari keterangan
tentang negara-negara asing tertentu.
KGB dan CIA selalu berusaha untuk memperoleh informasi rahasia mengenai segala hal yang menyangkut kedua belah pihak atau negara-negara yang berada di bawah pengaruh kedua belah pihak. Mereka juga membantu terciptanya berbagai ketegangan di dunia. Misalnya, CIA turut membantu orang-orang Kuba di perantauan untuk melakukan serangan ke Kuba tahun 1961 yang disebut Insiden Teluk Babi. Di pihak lain, Uni Soviet memberikan dukungan kepada Fidel Castro (Presiden Kuba) dalam menghadapi invasi tersebut.Dalam proses spionase tersebut tentunya dibutuhkan produk-produk TI yang mumpuni .Dan dua negara tersebut tentunya berlomba-lomba dalam menciptakan produk atau gadget-gadget yang mendukung kegiatan spionase tersebut.Dan itu memeberikan keuntungan bagi dunia TI .
KGB dan CIA selalu berusaha untuk memperoleh informasi rahasia mengenai segala hal yang menyangkut kedua belah pihak atau negara-negara yang berada di bawah pengaruh kedua belah pihak. Mereka juga membantu terciptanya berbagai ketegangan di dunia. Misalnya, CIA turut membantu orang-orang Kuba di perantauan untuk melakukan serangan ke Kuba tahun 1961 yang disebut Insiden Teluk Babi. Di pihak lain, Uni Soviet memberikan dukungan kepada Fidel Castro (Presiden Kuba) dalam menghadapi invasi tersebut.Dalam proses spionase tersebut tentunya dibutuhkan produk-produk TI yang mumpuni .Dan dua negara tersebut tentunya berlomba-lomba dalam menciptakan produk atau gadget-gadget yang mendukung kegiatan spionase tersebut.Dan itu memeberikan keuntungan bagi dunia TI .
4.
Nuklir Dalam Peperangan
Sejak pertama kali ditemukan, nuklir telah digunakan
sebagai senjata. Senjata nuklir pertama kali digunakan pada tahun 1945 oleh
Sekutu untuk menundukkan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, sebagai sebuah
strategi keamanan, nuklir baru menemukan tempatnya pada masa Perang Dingin.
Pada masa ini, ke dua Blok yang saling bertikai (Timur dan Barat) menggunakan
nuklir sebagai strategi pertahanan menghadapi kemungkinan serangan musuh.
Nuklir Sebagai Strategi Penangkalan
Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk
memenangkan perang, sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan,
nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence)
daripada instrumen untuk memenangkan perang. Hal ini kemungkinan terjadi karena
kedua Blok yang saling bertikai, pada masa Perang Dingin, memiliki kemampuan
nuklir yang relatif berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan
terkena dampak besar jika terjadi perang nuklir.
Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence),
nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan
memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata
nulir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak
dicapai negara lawan. Dalam menjalankan strategi penangkalan nuklir ada
beberapa asumsi pokok yang harus dimiliki:
1.
Watak defensif, interaksi strategis
baru berlangsung pada saat atau setelah serangan pertama dari pihak lawan.
2.
Serangan balasan dilakukan dengan
mengandalkan persenjataan yang dapat diselamatkan dari serangan pertama lawan.
3.
Rasionalitas dan mirror-image, pihak
lawan berpikir dengan logika yang sama seperti yang dilakukannya.
Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua
mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang
menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik
terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini
terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari
serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang
melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara
lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini
menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan
terhadap obyek-obyek militer (counterforce).
Strategi Nuklir Pada Masa Perang Dingin
Sebagaimana telah disinggung di atas, pada masa perang
dingin penggunaan strategi nuklir didominasi oleh Blok Barat yang dipimpin
Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pada awalnya
monopoli senjata nuklir berada di tangan Amerika Serikat, yaitu sejak tahun
1945 hingga 1949. Uni Soviet baru menguasai teknologi nuklir pada tahun 1949,
namun belum memiliki minat untuk mengembangkan persenjataan nuklir. Hal ini
disebabkan oleh dominasi pemikiran Joseph Stalin di dalam perumusan strategi
militer Uni Soviet. Stalin merupakan penafsir ortodoks pemikiran Marx dan
Engels. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa kemenangan di dalam setiap
pertempuran hanya ditentukan oleh disiplin moral pasukan. Oleh Stalin, premis
tersebut kemudian dirumuskan dan dibakukan sebagai unsur utama untuk
memenangkan perang. Selain itu, Stalin juga sangat percaya pada kekuatan
konvensional dan tidak percaya pada serangan-pendadakan (surprise attack).
Namun seiring makin berkembangnya kemampuan dan
kekuatan nuklir Amerika Serikat, Uni Soviet mulai merasakan arti penting
keberadaan senjata nuklir. Sejak pertengahan tahun 1950-an di Uni Soviet muncul
perdebatan antara kelompok Tradisionalis dan Modernis mengenai penggunaan
senjata nuklir. Perdebatan ini menyebabkan Uni Soviet mengambil jalan tengah
dengan tetap mempertahankan tingkat kepemilikan senjata konvensional dan secara
bersamaan juga mengembangkan kemampuan nuklir.
Pada masa pemerintahan Kruschev strategi nuklir makin
diterima sebagai kebutuhan strategis oleh Uni Soviet dan pada tahun 1960
Kruschev dan Menteri Pertahanan, Malinovsky berhasil merinci tujuan penggunaan
senjata nuklir, kapan digunakan dan bagaimana senjata tersebut digunakan.
Doktrin nuklir tersebut intinya menyatakan bahwa senjata nuklir akan digunakan
pada “serangan pendadakan di setiap perang lokal yang melibatkan Amerika
Serikat atau perang antara kubu sosialis dan kapitalis yang “pasti” meningkat
menjadi perang nuklir habis-habisan”. Isi doktrin ini sering juga disebut
strategi opsi tunggal. Namun karena pada saat itu kekuatan nuklir Uni Soviet
masih rendah doktrin tersebut hanya dipandang sebagai pernyataan penangkal
terhadap doktrin perang terbatas AS.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Breznev-Kosygin
tahun 1964 hingga 1970 strategi nuklir Uni Soviet tidak mengalami perubahan
kecuali tidak mengikuti doktrin Krushev yang menyatakan bahwa “perang antara
kubu sosialis dan kapitalis pasti akan meningkat menjadi perang nuklir total”
melainkan menggantinya dengan “Uni Soviet akan menjawab tantangan Amerika
Serikat pada setiap konflik, lokal & global dengan senjata konvensional
ataupun nuklir”.
Di dalam perkembangan selanjutnya Uni Soviet makin
menegaskan doktrin strategi nuklir mereka dengan merinci unsur-unsur untuk
memenangkan perang yaitu:
1.
Penangkalan yang lebih berdaya guna
adalah persiapan perang.
2.
Kemenangan akan dicapai melalui
serangan pre-emtif, dan;
3.
Bahwa eksistensi sosial, ekonomi,
politik dan militer Uni Soviet dapat dipertahankan.
Selain itu, Uni Soviet juga diyakini telah mampu
menyusun ukuran kemenangan di dalam perang nuklir. Ukuran-ukuran tersebut
adalah:
1.
Meskipun tidak terhindar dari
kehancuran, Uni Soviet tetap dapat bertahan.
2.
Melanjutkan perang sampai musuh
tidak berdaya.
3.
Mampu menduduki Eropa.
4.
Memegang kendali untuk mengembangkan
sosialisme ke seluruh dunia.
Uni Soviet memandang Eropa memiliki nilai yang sangat
strategis. Hal ini disebabkan oleh:
1.
Pengalaman historis & geopolitik
dimana Uni Soviet selalu mendapatkan ancaman dari barat.
2.
Eropa Barat merupakan sekutu Amerika
Serikat sehingga Uni Soviet beranggapan akan mendapatkan keuntungan jika mampu
memecah kerjasama AS-Eropa.
Nilai strategis atas Eropa ini menyebabkan Uni Soviet mengambil kebijakan differential détente yaitu menjalankan strategi pengakhiran ketegangan (détente) terhadap Eropa dan anti-détente terhadap Amerika Serikat.
Nilai strategis atas Eropa ini menyebabkan Uni Soviet mengambil kebijakan differential détente yaitu menjalankan strategi pengakhiran ketegangan (détente) terhadap Eropa dan anti-détente terhadap Amerika Serikat.
Dalam mengembangkan strategi nuklir Uni Soviet
mengandalkan persenjataannya pada peluru-peluru kendali landas darat karena:
1.
Ketepatan dan kecepatannya melebihi
rudal-rudal jelajah, pesawat pembom dan rudal-rudal yang dipasang pada kapal
selam.
2.
Tidak perlu menghadapi sistem
pertahanan udara dan sistem anti-kapal selam (anti-submarine warfare, ASW)
Strategi Nuklir Amerika Serikat
Untuk menghadapi Uni Soviet yang telah mampu menguasai
teknologi nuklir, Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1950-an mengembangkan
strategi massive retaliation. Strategi ini menyatakan bahwa kekuatan nuklir
strategis dan taktis Amerika Serikat digunakan tidak saja untuk menangkal
serangan nuklir terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya melainkan juga
untuk menangkal setiap serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di
seluruh dunia. Untuk mendukung strategi tersebut Amerika Serikat mengembangkan
bom hidrogen, senjata nuklir taktis dan pesawat pembom jarak jauh (B-52). Pada
tahun 1953 senjata-senjata nuklir taktis tersebut mulai ditempatkan di Eropa
dan pada tahun 1955 pesawat pembom strategis B-52 mulai beroperasi.
Namun, strategi ini banyak mengandung kelemamahan
yaitu, pertama, Amerika Serikat diragukan utk menggunakan senjata nuklir. Pandangan
ini didasari pada fakta bahwa di perang konvensional sebelumnya (Perang Korea)
Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklir. Kedua, Amerika Serikat tidak
mampu menjamin dirinya terhindar dari serangan nuklir US. Padahal efek
penagkalan efektif jika Amerika Serikat tidak berada dalam posisi rawan
terhadap serangan nuklir Uni Soviet. Ketiga, Serangan nuklir Amerika Serikat
terhadap Uni Soviet mengandalkan pangkalan udara di Inggris & Eropa Barat
padahal kekuatan konvensional Barat di Eropa lebih kecil dibandingkan kekuatan
konvensional Uni Soviet dengan demikian Amerika Serikat belum memiliki sarana
memadai untuk membuat Uni Soviet bertekuk lutut. Untuk mengatasi kelemahan
tersebut Amerika Serikat lalu mengembangkan pemikiran Perang Nuklir Terbatas
untuk melengkapi strategi massive retaliation. Pemikiran ini mengakui bahwa
tidak semua agresi terhadap Barat dapat ditangkal dengan melakukan serangan
langsung ke Uni Soviet. Dengan demikian Amerika Serikat memperluas keberedaan
senjata-senjata nuklir taktisnya ke negara-negara sekutunya yang lain dan
tempat-tempat lain yang berdekatan dengan Uni Soviet.
Sekali lagi strategi ini dpandang memiliki kelemahan
karena dapat mendorong Uni Soviet menyerang Amerika Serikat karena telah
mengetahui kelemahan strategi massive retaliation sehingga menyebabkan
kemungkinan terjadinya konflik lokal dan perang nuklir terbatas menjadi makin
besar. Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah paradoks: menghindari perang
nuklir malah memicu perang nuklir global.
Pada tahun 1960-an Amerika Serikat mengembangkan strategi flexible response. Strategi intinya terletak pada keluwesan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman keamanan dengan cara meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perang, baik besar-besaran maupun terbatas, nuklir ataupun konvensional. Strategi ini menekankan pada prinsip counterforce dengan alasan untuk mengurangi jumlah korban penduduk sipil jika terjadi perang nuklir. Dengan menjalankan prinsip counterforce maka terbuka kesempatan bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan pre-emtif.
Pada tahun 1960-an Amerika Serikat mengembangkan strategi flexible response. Strategi intinya terletak pada keluwesan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman keamanan dengan cara meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perang, baik besar-besaran maupun terbatas, nuklir ataupun konvensional. Strategi ini menekankan pada prinsip counterforce dengan alasan untuk mengurangi jumlah korban penduduk sipil jika terjadi perang nuklir. Dengan menjalankan prinsip counterforce maka terbuka kesempatan bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan pre-emtif.
Strategi ini juga memiliki kelemahan yaitu
counterforce efektif apabila persenjataan strategis Amerika Serikat digunakan
sebelum senjata-senjata lawan digunakan. Artinya counterforce dapat merangsang
Amerika Serikat untuk melakukan first strike menjadi lebih besar. Ini
menyebabkan ancaman perang nuklir menjadi lebih besar karena Uni Soviet akan
melihat implikasi tersebut dan melakukan upaya untuk tidak diserang terlebih
dahulu. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Uni Soviet mengembangkan ICBM
(Inter-continental Ballistic Missile) dan SLBM (Sea Launch Ballistic Missile)
pada pertengahan 1960-an. Kondisi ini dapat mengancam terjadinya perlombaan
senjata yang tidak terkendali.
Kelemahan tersebut mendorong Amerika Serikat untuk
mengembangkan strategi nuklir yang baru. Strategi tersebut disebut sebagai MAD
(Mutual Assured Destruction). Strategi ini menekankan pada pemikiran “siapapun
yang memulai serangan pertama tidak akan memenangkan perang atau menjadi pihak
yang kalah karena kekuatan pukul (second strike) kedua belah pihak akan
melakukan pembalasan yang dahsyat”. Pemikiran ini menyebabkan Amerika Serikat
berusaha untuk menyusun strategi agar sejumlah persenjataan strategisnya tidak
rawan dari serangan-dadakan lawan. Jawaban yang diberikan Amerika Serikat atas
kebutuhan tersebut adalah dengan menghentikan pengembangan jumlah ICBM yang
dimilikinya sebanyak 1054 namun memperbesar jumlah SLBM-nya sebagai sistem yang
tidak rawan serangan-dadakan. Berbeda dengan flexible response yang menggunakan
prinsip counterforce, MAD menggunakan prinsip countervalue.
Untuk menjaga agar efek penangkalan dari strategi ini,
yaitu kehancuran yang meyakinkan (assured destruction), berjalan efektif
Amerika Serikat berusaha memperkuat hubungan keamanannya dengan Uni Soviet
dengan melakukan pengawasan senjata. Hal ini dibutuhkan karena jika jumlah
senjata telah melebihi dari jumlah yang diperlukan maka nilai strategis dari
strategi ini akan hilang. Salah satu pengaruh positif dari MAD adalah dicapainya
kesepakatan mengenai ABM (Anti-Ballistic Missile Treaty) dan SALT I (Strategic
Arms Limited Talks I) pada tahun 1972.
Namun, perkembangan persenjataan Uni Soviet di tahun
1970-an yang terus meningkat kembali melahirkan kritik terhadap strategi nuklir
Amerika Serikat. Strategi MAD dirasa tidak lagi mampu untuk menghadapi
persenjataan Uni Soviet yang kemampuannya telah meningkat. Amerika Serikat juga
dipandang tidak lagi cukup hanya mengandalkan serangan pada kota-kota dan
pusat-pusat industri Uni Soviet. Pemikiran ini berusaha mendorong Amerika
Serikat untuk juga menjalankan prinsip counterforce di dalam strategi
nuklirnya. Selain itu, Amerika Serikat dipandang perlu untuk meningkatkan
kemampuan persenjataannya dan menentukan seperangkat sasaran-sasaran yang akan
dihancurkan jika terjadi perang. Kritik-kritik ini kemudian melahirkan apa yang
disebut sebagai Presidential Directive 59 (PD 59) pada tahun 1980. PD 59
memberikan pedoman-pedoman mengenai apa yang hendaknya dilakukan Amerika
Serikat dalam menghadapi konflik dengan Uni Soviet. PD 59 memuat puluhan ribu
daftar sasaran yang akan dihancurkan Amerika Serikat jika terjadi perang.
Namun, walaupun memuat puluhan ribu daftar target, target-taget tersebut dapat
dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu: 1) kekuatan nuklir Uni
Soviet; 2) Kekuatan konvensional; 3) Pimpinan-pimpinan militer dan politik
serta fasilitas komunikasi, dan; 4) Sasaran-sasaran ekonomi dan industri Uni
Soviet.
Strategi Nuklir Pasca Perang Dingin
Pembahasan mengenai strategi nuklir pasca Perang
Dingin akan difokuskan pada strategi nuklir Amerika Serikat. Hal ini didasari
oleh fakta bahwa hingga kini Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang
memiliki keunggulan nuklir.
Tumbangnya komunisme menyebabkan Amerika Serikat mengubah strategi nuklirnya. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Jerman Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa.
Pada tahun 1994 dilakukan peninjauan ulang atas sifat, peran dan jumlah senjata-senjata nuklir Amerika Serikat. Hasil dari peninjauan ulang ini adalah Nuclear Posture Review (NPR) 1994. Namun, isi dari NPR 1994 ini masih bersifat konservatif. Amerika Serikat masih mengambil sikap wait and see menghadapi perubahan situasi interasional yang terjadi.
Tumbangnya komunisme menyebabkan Amerika Serikat mengubah strategi nuklirnya. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Jerman Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa.
Pada tahun 1994 dilakukan peninjauan ulang atas sifat, peran dan jumlah senjata-senjata nuklir Amerika Serikat. Hasil dari peninjauan ulang ini adalah Nuclear Posture Review (NPR) 1994. Namun, isi dari NPR 1994 ini masih bersifat konservatif. Amerika Serikat masih mengambil sikap wait and see menghadapi perubahan situasi interasional yang terjadi.
Pasca perang dingin mendorong Amerika Serikat untuk
mengembangkan pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat ini
berpusat pada perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) II yang
disepakati tahun 1993. START II berisikan kesepakatan Amerika Serikat dan Rusia
untuk mengurangi jumlah senjata nuklirnya: dari 12.000 hulu ledak nuklir pada
tahun 1990 menjadi antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003. Namun, pada tahun 1997
masa pengurangannya diperpanjang hingga tahun 2007 karena persoalan politik dan
teknis. Selain itu, Amerika Serikat juga bekerjasama dengan negara-negara
eks-Uni Soviet lainnya untuk mencegah penyebaran senjata-senjata nuklir akibat
“kebocoran nuklir”
Walaupun, Amerika Serikat telah melakukan sejumlah
kebijakan terkait persenjataan nuklirnya, Andrew Butfoy menyatakan bahwa saat
ini strategi nuklir Amerika Serikat dalam kondisi tidak menentu. Karena di satu
sisi, Uni Soviet telah runtuh sehingga tidak lagi relevan bagi strategi
keamanan Amerika Serikat saat ini. Namun, di sisi yang lain Amerika Serikat
masih enggan untuk meninggalkan pendekatan-pendekatan dan konsep-konsep
keamanan pada masa Perang Dingin.
Penggunaan Nuklir Dalam Krisis Kuba
Krisis Rudal Kuba adalah sebuah krisis yang terjadi
antara tahun 1962 yang terjadi sebagai akibat dari Perang Dingin yang terjadi
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Krisis ini terjadi setelah terungkap
fakta bahwa Amerika Serikat telah mensponsori sebuah serangan ke Teluk Babi
milik Kuba, sebuah negara komunis di Laut Karibia. Meskipun gagal, penyerbuan
ini telah menimbulkan kemarahan Uni Soviet, sebagai pemimpin komunis dunia,
maupun rakyat Kuba sendiri.
Pada bulan September 1962, Nikita Khruschev, Perdana
Menteri Uni Soviet, menyatakan kepada Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy
bahwa setiap serangan berikutnya terhadap Kuba akan dinilai sebagai tindakan
perang. Tidak lama kemudian, Uni Soviet segera menempatkan rudal-rudal
berukuran sedang yang dilengkapi dengan hulu ledak nuklir di Kuba. Rudal-rudal
tersebut mengancam AS karena kemampuan merusaknya yang dapat menghancurkan
sebuah kota besar dalam waktu singkat setelah diluncurkan. Pada tanggal 22
Oktober 1962, Kennedy muncul di muka publik dan menuntut Uni Soviet untuk
menarik rudal-rudalnya atau AS akan menyerang Kuba. Maka, dimulailah
minggu-minggu yang dikenal dengan sebutan Krisis Rudal Kuba ini.
Negosiasi di antara dua musuh bebuyutan ini terjadi dengan alot karena kedua belah pihak merasa siap untuk berperang dan tidak mau mengurangi tuntutannya. Kapal-kapal perang Amerika mengepung Kuba untuk memaksakan sebuah "karantina" terhadap semua pelayaran milik kuba; pesawat-pesawat pengebom mencari posisi di Florida dan bersiaga menghadapi serangan udara. Untungnya, pada tanggal 28 Oktober 1962, Khruschev menyatakan bahwa Uni Soviet bersedia memindahkan nuklirnya asalkan AS berjanji tidak akan menyerbu Kuba.
Negosiasi di antara dua musuh bebuyutan ini terjadi dengan alot karena kedua belah pihak merasa siap untuk berperang dan tidak mau mengurangi tuntutannya. Kapal-kapal perang Amerika mengepung Kuba untuk memaksakan sebuah "karantina" terhadap semua pelayaran milik kuba; pesawat-pesawat pengebom mencari posisi di Florida dan bersiaga menghadapi serangan udara. Untungnya, pada tanggal 28 Oktober 1962, Khruschev menyatakan bahwa Uni Soviet bersedia memindahkan nuklirnya asalkan AS berjanji tidak akan menyerbu Kuba.