Kamis, 13 Februari 2020

MAKALAH HASIL AMANDEMEN UUD


BAB I
PENDAHULUAN

Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu "amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk masalah hukum. The law has been amended (undang-undang itu telah di amandemen). Jadi yang dimaksud dengan Amandemen UUD 45 pasal-pasal dari UUD 45 itu sudah mengalami perubahan yang tertulis atau maknanya, barangkali. Kapan UUD 45 itu dimandemen ?. Perlu diketahui ada perbedaan antara rancangan UUD yang dibuat oleh pantia BPUPKI dengan naskah UUD 45 yang disetujui dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi anggaplah dasar UUD 45 yang belum diamandemen adalah UUD 45 yang tercantum dalam ketetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Memilih Soekarno dan Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden. 
Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dan memang dalam Aturan Peralihan UUD 45, pasal IV tercantum : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. 
Dengan perkataan lain saat itu Presiden berkuasa tanpa batas karena beliau berfungsi ya sebagai eksekutif, sebagai pimpinan legislatif. Ini kurang demokratis, padahal Republik Indonesia saat itu harus menunjukkan sifatnya yang didukung rakyat. Kalau tidak, maka Belanda bakal berkoar-koar membenarkan bahwa Pemerintahan Soekarno, fasistik ala Jepang. Makanya konstitusi kita dicermati harus diamandemen.
Sejarah menggambarkan bahwa muncullah petisi (kurang lebih 50 orang) untuk merubah KNIP (yang tadinya sekadar badan pembantu Presiden) menjadi sebuah badan legislatif. Karena untuk memunculkan apa yang tertulis dalam undang-undang yaitu terbentuknya MPR dan DPR, sulit direalisir saat itu. Jadi mengapa tidak KNIP saja yang dirubah jadi MPR sementara. Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI yang berubah menjadi PK (Panitia Kemerdekaan) menetapkan pembentukan Komite nasional, Partai Nasional Indonesia (Staat partij, bukan PNI partai politik) dan Badan Keamanan Rakyat. dan pada tanggal 29 Agustus 1945, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) terbentuk dengan ketuanya Mr Kasman Singodimedjo. Wakilnya ada 3 orang yaitu masing-masing, 1. Sutardjo Kartohadikoesoemo, 2. Mr Johanes Latuharhary, dan Adam Malik.
Dalam sidangnya yang pertama dibalai Muslimin Jakarta, pada tanggal 16 Oktober 1945, KNIP keadaannya kacau. Semua ingin bicara dan merasa perlu ikut bicara. Meskipun demikian hasilnya ada juga yaitu meminta hak legislatif kepada Presiden sebelum terbentuknya MPR dan DPR. Seperti telah disebutkan diatas, sejumlah 50 orang dipimpin oleh Soekarno membuat petisi untuk merubah fungsi dan status KNIP. Sejumlah anggota kabinet seperti Amir Sjarifudin dan Hatta bisa menyetujui (Soekarno tidak hadir dalam sidang KNIP pertama ini). Maka Wakil presiden Mohammad Hatta menerbitkan Maklumat wakil Presiden no.X tapi dengan kop : Presiden Republik Indonesia. Isinya : Memutuskan : Bahwa KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN serta menyetujui bahwa pekerjaan KNIP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNIP. 
Siapakah yang diangkat menjadi ketua BP KNIP itu ? Dialah Sutan Sjahrir. Dan Wakilnya diangkat Amir Sjarifudin. Sekretaris Mr Soewandi. Jumlah anggota BP KNIP adalah 15 orang. Maka mulailah bekerja BP KNIP ini dan kantornya di Jalan Cilacap Jakarta (sekarang dipakai UBK). Salah satu produk hukum yang dibuat oleh BP KNIP adalah maklumat no.5 tentang pertanggung jawaban menteri-menteri dan susunan dewan kementerian baru. Dokumen ini amat penting karena tanpa disadari merupakan rancangan perubahan konstitusi yang amat mendasar. Konsekwensinya kalau disetujui, maka terjadilah perubahan sistim kabinet presidentiel, menjadi kabinet ministriel. Lucunya Soekarno-Hatta menyetujui. Bahkan Soekarno meminta Sjahrir bertindak sebagai Perdana menteri. Kabinet Sjahrir terbentuk dan serah terima terjadi pada tanggal 14 November 1945. Anehnya ketika berlangsungnya sidang KNIP kedua Sjahrir masih sebagai ketua BP KNIP dan sudah serah terima dengan kabinet lama. Padahal saat itu dia sudah Perdana menteri. Demikianlah kisah sejarah dalam negeri yang namanya Republik Indonesia ini. Rupanya amandemen bukan barang baru. Tidak aneh kalau Amin Rais Cs melakukannya tahun 2002. (Disarikan dari berbagai sumber). Mungkin untuk menyiasati tantangan yang muncul yang menggoyahkan sendi negara, para politikus, tidak segan-segan mengamandemen peraturan-perundangan yang sedang berlaku. 





BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Hasil-hasil amandemen dan implementasinya
Esensi  amandemen UUD 1945 adalah menegakkan demokrasi konstitusional dan rule of law. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar” menegaskan bahwa UUD adalah hukum dasar dan tertinggi. Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum.”
Sejalan dengan itu, konstitusi juga menegaskan pembagian kekuasaan diantara cabang-cabang eksekutif, legislative dan judikatif yang menghadirkan mekanisme checks and balances, ketentuan penghormatan hak-hak asasi, kekuasaan kehakiman yang merdeka, judicial review, pembatasan masa jabatan presiden, pemilu sebagai instrumen peralihan kekuasaan secara teratur dan damai, dan sebagainya. 
Amandemen juga telah memilih sistim pemerintahan presidentil, dimana presiden menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan. Sistim presidential adalah sebuah pilihan dan dipilih dengan pertimbangan bahwa kondisi dan permasalahan yang dihadapi bangsa memerlukan kecepatan bertindak, kekuasaan eksekutif yang terkonsentrasi dan masa jabatan yang fixed. Pengalaman masa lalu menjadi pertimbangan PAH I tidak memilih sistim parlemen - jatuh-bangun sehingga tidak berhasil guna - walaupun menyadari sepenuhnya bahwa sistim multi-partai dan sistim pemilu (1999) yang ada (existing) tidak kompatibel dengan sistim presidentil sehingga memerlukan penesuaian. Namun semua menyadari bahwa penyesuaian sistim kepartaian dan sistim pemilu tidak bisa dilakukan dengan cara otoriter, seperti pembubaran partai dengan dekrit, melainkan harus melalui proses demokratis. Demikianlah sistim presidentil telah dipilih  dengan sekaligus mempersiapkan perubahan dan penyesuaian sistim kepartaian dan sistim pemilu
Risalah rapat-rapat PAH I mencatat pembicaraan tentang perlunya penyederhanaan sistim kepartaian dengan penerapan ambang batas (threshold) dalam pemilu. Demikian pula pemilihan presiden secara langsung sebenarnya dirancang dilakukan bersamaan dengan pemilihan DPR, DPRD dan DPD. Pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden diatur untuk dilakukan sebelum pemilihan umum. Paket rancangan itu adalah rekayasa konstitusional untuk menyesuaikan sistim presidential dengan komponen lainnya. Melalui rekayasa itu akan terbangun sistim kepartaian yang lebih sederhana tetapi mencerminkan aliran politik – bukan sekedar kepentingan – yang hidup ditengah masyarakat. Kerjasama politik juga akan terbangun berdasarkan visi dan misi-politik, bukan sekedar transaksi kepentingan politik sehari-hari.
Sayangnya, sampai sekarang rancang bangun itu belum selesai walaupun ada tanda-tanda DPR dan Pemerintah mulai menyesuaikan berbagai peraturan perundang-undangan dengan ketentuan dan maksud UUD. 
Sejauh ini, keadaan itu turut memberi rasa parlementer kedalam sistim presidentil kita, disamping karena baik Presiden maupun DPR tidak berusaha menjaga tapal batas kewenangan masing-masing.
UU no. 12/2011 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD  tidak mendudukkan DPD pada kedudukan yang seharusnya menurut UUD 1945. DPD dirancang bukan mengikuti sistim kameral yang biasa ditemukan. DPD adalah sebuah suis generis untuk membangun sistim perwakilan yang diperlukan oleh sebuah negara republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan yang masyarakatnya sangat majemuk dan wilayahnya amat luas. Menurut UUD 1945, dalam pembuatan UU dimana DPD terkait, seharusnya DPD - sebagai lembaga - diikut sertakan dalam setiap tingkat pembicaraan dengan hak bicara walaupun tidak mempunyai hak suara. Nilai pendapat anggota DPD dalam proses pembuatan UU tidak terletak dalam hak suaranya, tetapi dalam bobot pendapatnya. Bersama dengan keterbukaan pers dan hak-hak demokrasi lainnya, kedudukan DPD yang demikian cukup kuat berpengaruh terhadap pembentukan UU tanpa keluar dari prinsip-prinsip negara kesatuan. Langkah DPD mengajukan kelemahan UU 12/2011 itu kepada Mahkamah Konstitusi guna diperbaiki adalah lebih berguna daripada memperjuangkan kesetaraan kewenangan dengan DPR dalam sebuah sistim bi-kameral yang mengandung banyak komplikasi politik. 
Jika dicermati, langkah-langkah ‘reformasi’ sekarang ini masih dipengaruhi oleh 2 sumber yang berbeda. Sementara itu, banyak peraturan perundangan yang berlaku berasal dari era lama yang belum disesuaikan.
Yang pertama, euforia reformasi tahun 1998-1999 sebelum amandemen telah menjadi sumber berbagai undang-undang era reformasi. Misalnya pasal 3 ayat (3) TAP VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI menyatakan bahwa Panglima TNI diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, tetap diatur demikian dalam Pasal 13 ayat (3) UU no. 34/2004 tentang TNI. Hal serupa juga mengenai pengangkatan KAPOLRI. Mempertimbangkan penyalah-gunaan TNI/POLRI sebagai kekuatan politik orde baru, ketentuan itu beralasan kuat. Tetapi dalam upaya membangun sistim presidentil, ketentuan itu tidak tepat. Mekanisme checks and balances harus dilihat secara komprehensif, dimana kekuasaan Presiden itu dikontrol. Dalam kaitan itu, pengangkatan panglima cukup dengan mendengar pertimbangan DPR. 
TAP XV/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang Penyelenggaraaan Otonomi Daerah berpengaruh kuat  dalam pembentukan UU no. 22/1999 dan no. 32/2004  tentang Pemerintahan Daerah. Semangat reformasi yang dianut oleh UU itu sangat menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsa sendiri. Selain itu UU juga telah menyeragamkan pemilihan kepala daerah melalui pilkada langsung. Berbagai ketentuan UUD 1945, seperti untuk meletakkan pemerintahan daerah dalam kerangka negara kesatuan, keharusan mempertimbangkan kekhususan dan bahkan keistimewaan daerah,  kurang mendapat perhatian, sedemikian sehingga kekokohan sistim pemerintahan secara nasional terganggu dan beberapa waktu lalu terjadi masalah dalam  cara pemilihan/penetapan gubernur/kepala daerah DI Yogyakarta.
Kemajuan ekonomi Indonesia, terutama pertumbuhannya, amat impresif. Tetapi perintah pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (4) agar Pemerintah pro-aktif melakukan intervensi pasar tanpa harus terjebak kedalam ekonomi serba-negara (etatisme), tidak berjalan.  Permasalahannya karena kita kurang mendorong, kurang kreatifitas dan kurang ketekunan untuk menyusun berbagai regulasi inovatif untuk mempengaruhi gerak pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan sosial.  Berbagai kebijakan ekonomi masih belum terlepas dari pengaruh kebijakan era sebelum reformasi.
Yang kedua, adalah berbagai peraturan perundangan yang bersumber kepada ketentuan UUD 1945 hasil amandemen, seperti pembentukan MK, DPD, dan sebagainya.

2.2  Perubahan mendasar konsep kenegaraan
UUD 1945 menempati posisi yang sangat simbolikal dalam sejarah bangsa Indonesia. Dibuat pada masa perjuangan kemerdekaan dan menjadi lambang perjuangan kemerdekaan, UUD 1945 mempunyai nilai melampaui kata-kata yang terkandung didalamnya. Hal itu terkait pada proses pembentukan dan intisari UUD 1945 yang semula itu. Simbolisasi dan romantisasi UUD 1945 pada hakekatnya positif dalam rangka eksistensi dan pembinaan  kejuangan bangsa. Namun posisi itu telah mengakibatkan keinginan tulus dan rasional untuk memperbaiki UUD 1945 menghadapi tentangan yang tidak ringan. Dilain pihak, tentu diperlukan pikiran yang jernih untuk mencermati apa kekuatan dan kekurangan didalam UUD 1945 mengingat praktek kehidupan berkonstitusi selama 44 tahun (khususnya 1959-1999) kental berwarna otoritarianisme dan bahwa sebenarnya UUD 1945 yang semua itu adalah UUD sementara.
Amandemen memang telah mengubah secara radikal ‘batang tubuh‘ UUD 1945 tetapi tetap mempertahankan Pembukaan seraya berusaha menjadikan Pembukaan sebagai satu-satunya sumber nilai dan gagasan bagi amandemen pasal dan ayat UUD 1945.
Proses pembuatan UUD 1945 oleh BPUPK (28 Mei 1945 – 7 Agustus 1945) dan PPKI (18 Agustus 1945) adalah rangkaian proses politik. 
Indonesia merdeka yang diinginkan Jepang adalah Indonesia sebagai mata-rantai Asia Timur Raya (the Greater East Asia Co-Prosperity Sphere) - sebuah konsep geo-politik baru yang merupakan daerah pengaruh Jepang, disamping wilayah pengaruh Amerika Serikat, Uni Soviet dan Jerman - sebagaimana diamanatkan oleh Kepala pemerintahan militer Jepang Mayor Jenderal Seisabaro Okasaki, dan Ketua BPUPK, Radjiman Wediodiningrat dalam acara pembukaan sidang BPUPK tanggal 28 Mei 1945, serta pernyataan Soepomo,Mohammad Yamin dkk dalam rapat-rapat BPUPK. 
Pesan pimpinan pemerintahan militer Jepang itu sejalan dan mengikuti pernyataan Prince Konoye, Perdana Menteri Jepang pada 24 Januari 1941 yang menegaskan bahwa terbentuknya sebuah Asia Timur Raya yang kokoh amat sangat penting (absolutely)  bagi kelangsungan hidup Jepang. 
Pada pihak lain, dimata pejuang Indonesia, forum BPUPK adalah medan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia sepenuhnya. 
Dengan perkataan lain, proses era BPUPK adalah sebuah proses pertarungan ide geo-politik Jepang dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Karenanya dapat dimengerti bahwa hasil karya BPUPK sarat dengan kepentingan kedua belah pihak melalui berbagai kompromi dan melalui berbagai siasat. 
Tetapi naskah Mukaddimah (yang kemudian menjadi Pembukaan) bersih dari pengaruh Jepang karena naskah itu disusun oleh sebuah tim tidak resmi (tim-9) yang dipimpin Sukarno dan lepas dari pengawasan Jepang. Namun kemudian, setelah dilaporkan dan disetujui oleh sidang BPUPK (22 Juni 1945 – dikenal sebagai piagam Jakarta) naskah Mukaddimah ini diimbuhi dengan 2 naskah lain, yaitu declaration of rights dan kata-pengantar (diusulkan oleh Parada Harahap dan didukung oleh Kolopaking, Mohammad Yamin, dll), yang menegaskan bahwa Indonesia merdeka adalah bagian dari Asia Timur Raya.  
Risalah rapat-rapat BPUPK dan PPKI mencatat bahwa segera setelah Proklamasi Kemerdekaan, dipimpin oleh Wakil Ketua PPKI Mohammad Hatta, naskah Mukaddimah dibersihkan dari 2 naskah imbuhan itu, dan ‘7-kata’disepakati untuk ditiadakan serta selanjutnya naskah itu diberi nama Pembukaan. Dilain pihak, naskah batang tubuh tidak sempat ‘dibersihkan’. 
Atas himbauan Ketua PPKI Sukarno, naskah-naskah – Pembukaan dan Batang Tubuh - itu ditetapkan sebagai UUD, dengan catatan ada kesepakatan untuk menyempurnakannya sesegera mungkin. 
Mencermati proses pembuatan UUD 1945 itu, jelas bahwa hanya naskah Pembukaan yang bersih dari kompromi dan pengaruh konsepsi Jepang. 
Ideologi fascis Jepang amat menentang kapitalisme dan demokrasi liberal serta juga berseberangan dengan ideologi komunis. Sementara ide demokasi belum berkembang seperti sekarang ini, negara demokrasi waktu itu (masih tergolong majoritarian democracy atau libertarian democracy dengan konsep laisezz fairez, laisezz passer)menganut paham liberal dan kapitalis serta beberapa diantaranya adalah negara kolonial (Belanda, Inggris, Perancis, dll) yang menjadi musuh pergerakan kemerdekaan. Karena itu, segala pemikiran yang dapat diasosiasikan dengan kolonialisme, kalah pamor dimata pejuang dan serta-merta berhadapan dengan kepentingan fascis penjajah Jepang. Kita mencermati wacana mempertentangkan kedaulatan rakyat dengan kedaulatan individu, penolakan terhadap hak-hak asasi dengan yang memperjuangkan hak-hak asasi (Mohammad Hatta dkk), mengasosiasikan demokrasi dengan kapitalisme dan liberalisme dan sekaligus menolaknya, mengedepankan persatuan kawulo dan gusti dengan ide-ide das Ganze der politischen Einheit des Volkes dan konsep pemimpin sebagai penunjuk jalan yang benar, Fuhrung als Kernbegriff (ein totaler Fuhrerstaat)yang lebih mendapat angin dihadapan kepentingan penjajah Jepang. Berbeda dengan masyarakat Jepang yang memiliki susunan masyarakat kekeluargaan yang terpusat pada keluarga Kaisar, walau memiliki budaya yang menghargai musyawarah, masyarakat Indonesia sangat heterogen. Dari penyesuaian dan kompromi itulah lahir konsep MPR sebagai penjelmaan rakyat, pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya(Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes).
Sistim MPR pada dirinya dapat menjadi sebuah sebuah sistim otoriter atau sistim parlementer yang labil. Bila MPR dikuasai oleh sebuah partai tunggal (PNI sebagai partai pelopor) – sebagaimana digagas dan diputuskan oleh PPKI 22 Agustus 1945 - atau dikuasai oleh sebuah kekuatan politik majoritas dimana Presiden adalah pimpinannya (zaman orde baru dengan GOLKAR dan 3-jalurnya), sistim MPR akan efektif tetapi sekaligus otoriter. Bila tidak, maka Presiden akan amat lemah dan setiap saat dapat dijatuhkan oleh MPR, seperti pada kasus Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid.
Demikianlah konsep dasar UUD 1945 yang semula telah diubah secara signifikan dengan mengubah sistim MPR dan menggantinya dengan sistim demokrasi konstitusional dan berdasar hukum (rule of law).
UUD 1945 yang semula tidak memberi penghargaan yang cukup kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman telah diperbaiki.
Untuk mengokohkan Indonesia sebagai Negara yang menganut demokrasi konstitusional dan rule of law, UUD 1945 telah memerintahkan pembentukan sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) dengan wewenang judicial reviewagar supaya setiap undang-undang sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hubungan itu perlu dicatat bahwa pada waktu membahas kewenangan Mahkamah Konstitusi, PAH-I juga membicarakan mengenai constitutional complaints. Berangkat dari lobby dan diskusi, memahami keberagaman agama, budaya dan adat-istiadat masyakarat Indonesia serta mempelajari pengalaman MK di Jerman dan Afrika Selatan, PAH-I berkesimpulan tidak memberikan secara eksplisit kewenangan menyelesaikan constitutional complaint orang-perorangan langsung kepada MK, tetapi mendorong berfungsinya lembaga-lembaga masyarakat seperti ombudsman, Komnas HAM disamping kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjadi jembatan penyelesaian gugatan anggota masyarakat tersebut. Selain itu PAH-I berpendapat bahwa semakin tegaknya hierarki hukum akan memberi jalan penyelesaiaan pada masalah constitutional complaints

Selanjutnya 
UUD 1945 hasil amandemen bukanlah tujuan akhir reformasi. UUD 1945 sekarang adalah sebuah hukum dasar yang memiliki patokan cukup untuk melanjutkan proses reformasi secara berkesinambungan, khususnya pada tataran instrumen. Ketentuan didalam UUD 1945 yang menganut demokrasi konstitusional dan negara hukum memiliki kemampuan untuk mengelola konflik (politik sebagai konflik) dan untuk mendorongkan reformasi di masa depan. 
 Kemungkinan mengamandemen kembali UUD 1945 (bila ada hal yang dianggap menghambat proses reformasi selanjutnya) bukanlah sesuatu yang mustahil, tetapi hal itu membutuhkan momentum yang terbangun dari perkembangan objektif yang sekarang ini belum terbentuk.
Waktunya sekarang untuk mencermati berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai atau bahkan mungkin menghambat proses reformasi ke masa depan dan memperbaikinya. Demikian pula untuk menyelesaikan sistim kepartaian dan sistim pemilu agar kompatibel dengan sistim presidential.
Kita perlu gigih membangun sistim hukum yang demokratis dan konsisten menegakkan hukum. Rule of law tanpa rule by law tidak akan tegak. Negara hukum yang tidak menegakkan hukum bukanlah negara hukum. Negara demokrasi hanya tegak dengan rule of law.
Sejalan dengan itu perhatian perlu diberikan kepada upaya capacity building aparat negara, karena permasalahan sekarang lebih terletak kepada kemampuan menterjemahkan paradigm ideologis-konstitusional kedalam instrumen kebijakan.
Apabila kita tidak memberi perhatian atas hal-hal tersebut diatas, proses pembalikan – seperti yang terjadi menjelang Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945 di masa lalu – bisa terjadi kembali. Berbagai tanda-tanda telah terlihat, seperti munculnya keinginan dan upaya untuk kembali ke-era otoriter masa lalu. 
Akhirnya, perlu dicatat bahwa seluruh proses dan substansi amandemen UUD 1945 tahun 1999 – 2002 telah dipersiapkan, dibiayai, dikerjakan dan diselesaikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Tidak ada campur tangan asing. 

2.3  Perubahan UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia. 
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 2002. Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.
Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).





BAB III
PENUTUP

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR :
-          Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14 Oktober-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
-          Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7 Agustus-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
-          Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1 November-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
-          Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1 Agustus-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945





DAFTAR PUSTAKA

Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR. Revisi Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003.

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.

Mahfud MD., Moh. Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Montesquieu. The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.

Simanjuntak, Marsillam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Grafiti, 1993.

Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, dipresentasikan di hadapan Pimpinan dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada tanggal 15 Juni 1999 di Jakarta.

Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid Pertama. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959.