BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW wafat
pada hari Senin tanggal 12 Robiul Awal 11 H, bertepatan pada tanggal 8 Juni 623
M, dalam usia 63 tahun. Sebelum Nabi wafat, beliau tidak meninggalkan
wasiat apapun kepada kaum muslimin tentang siapa yang akan menggantikan beliau
untuk memimpin masyarakat dan negara Islam yang dibentuk di Madinah. Akan
tetapi, sebelum beliau wafat sempat memberikan petunjuk tentang siapa yang akan
menggantikan beliau untuk memimpin masyarakat yaitu ketika beliau menunjuk Abu
Bakar ash Shiddiq untuk menggantikan beliau mengimami shalat, ketika beliau
merasakan sakit demam pada hari terakhir kehidupannya.
Pengganti pemimpin umat
Islam setelah rasul (Nabi Muhammad) dinamakan Khalifah Rasulillah (Pengganti
Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut Khalifah saja. Khalifah
adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau
melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Sebelum menentukan siapakah yang pantas menjadi khalifah, beberapa
kelompok islam mempunyai perbedaan pendapat yaitu antara Muhajirin dan Anshor.
Perbedaan pendapat tersebut diselesaikan secara musyawarah di balai kota Bani
Sa’idah. Musyawarah tersebut berjalan sangat alot karena masing-masing merasa
mempunyai hak untuk memilih tokoh-tokoh dari kelompoknya sebagai khalifah atau
pemimpim umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah islamiah yang sangat kuat,
akhirnya Abu Bakar yang dipilih sebagai khalifah.
B. Rumusan Masalah
2.
Bagaimanakah
kekhalifahan Abu Bakar serta peran-peran penting yang dilakukannya?
BAB II
PEMBAHASAN
KHALIFAH ABU BAKAR
A. Biografi Abu Bakar
Nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah
bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib al-Quraisyi at-Taimi, yang lebih dikenal dengan
Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah. Dijuluki ash-Shiddiq (orang yang
selalu membenarkan) ini setiap kali Rasulullah SAW mengabarkan sesuatu, Abu
Bakar selalu menjadi orang yang paling pertama membenarkan dan mengimaninya.
Karena beliau begitu yakin bahwa Rasulullah SAW tidak berbicara berdasarkan
nafsu. Abu Bakar dilahirkan dua tahun enam bulan setelah peristiwa
penyerangan Ka’bah oleh tentara gajah. Beliau berkulit putih, berperawakan
kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya sehingga kainnya selalu turun
dari pinggangnya, wajahnya tirus, matanya cekung, berkening lebar, dan selalu
mewarnai jenggotnya jenggotnya dengan inai maupun katam (sejenis tumbuhan yang
digunakan untuk menghitamkan rambut). Beliau tumbuh di bawah naungan
ayahnya Abu Quhafah yang masuk islam pada peristiwa Fathu Makkah, dan ibunya
Ummul Khair, Salma binti Sakhr bin Amir (sepupu Abu Quhafah) yang masuk islam
dan menjadi salah satu shahabat Rasulullah SAW bersama sang putra.
Masa muda Abu Bakar
tidak ternodai oleh keburukan dan perilaku negatif kaum jahiliyyah, kerena
beliau memegang teguh sifat-sifat luhur bangsa Arab. Abu Bakar dikenal sebagai
pribadi yang berakhlak mulia, sosok yang menyenangkan, mudah membantu sesama,
jujur dalam setiap perkataannya, baik pergaulannya, bahkan mengharamkan atas
dirinya khamar sejak masa jahiliyyah.
B. Kekhalifan Abu Bakar
serta peran-peran penting yang dilakukan beliau
Diawal sudah sedikit
disinggung tentang pemilihan Abu bakar sebagai khalifah. Memang sudah jelas
bahwa Rasulullah SAW sebelum meninggal tidak menunjuk langsung Abu Bakar yang
nantinya akan menjadi khalifah, akan tetapi Rasulullah memberikan isyarat
tentang kekhalifahan Abu Bakar yaitu ketika beliau menunjuknya untuk
menggantikan sebagi imam shalat saat sakit beliau makin parah.
Abdullah bin Zam’ah
meriwayatkan, “ketika sakit Rasulullah semakin parah, saya dan beberapa orang
sedang bersama beliau. Datanglah Bilal menjemput beliau untuk shalat. Maka
Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat”.
Abdullah bin Zam’ah berkata, “kami pun keluar dari tempat Rasulullah menuju
tempat shalat, ternyata Umar yang berada bersama jama’ah, sedangkan Abu Bakar
tidak ada. Saya pun berkata, “Wahai Umar, bangunlah, jadilah imam shalat. Maka
Umar pun maju ke dapan dan bertakbir. Ketika Rasulullah SAW mendengar suaranya
– kebetulan Umar memiliki suara yang keras – beliau bersabda, “Dimana Abu
Bakar? Allah dan kaum muslimin menolak itu, Allah dan kaum muslimin menolak
itu!” Maka diutuslah seseorang menjemput Abu Bakar. Tak lama kemudian datanglah
Abu Bakar setelah Umar selesai mengimami shalat. Lalu Abu Bakar mengimami
shalat”.
Setelah Rasulullah SAW
wafat, beberapa tokoh-tokoh Muhajjirin dan Anshor sudah mulai memusyawarahkan
tentang siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin, bahkan hal itu dilakukan
sebelum jenazah Rasulullah dimakamkan. Mereka berkumpul di aula pertemuan
(saqifah) milik Bani Sa’idah, kaum Muhajjirin dan Anshor merasa berhak
mencalonkan tokoh-tokohnya untuk menjadi khalifah. Musyawarah itu
berakhir dengan pembaiatan Abu Bakar oleh Umar yang diikuti oleh tokoh-tokoh
yang lain, dan akhirnya Abu Bakar resmi menjadi khalifah.
Masa kekhalifahan Abu
Bakar yang berlangsung selama dua tahun, 11-13 H (632-634 M), diawali dengan
pidato politik yang memberi komitmen bahwa dirinya diangkat menjadi pemimpin
umat Islam sebaga Khalifah Rasulillah, yaitu mengganti Rasul melanjutkan
tugas-tugas kepemimpinan agama dan kepala pemerintahan. Penegasan ini membawa
implikasi bahwa Abu Bakar akan selalu menjadikan nilai dasar islam yang dibawa
Rasul sebagai dasar dari kepemimpinannya.
Karena negara Islam
baru didirikan, maka tidak ada konstitusi tertulis ataupun konvensi-konvensi
yang sudah baku. Al-Qur’an dan sunnah Nabi menjadi pedoman khalifah baru.
Kekuasaannya belum ditentukan, secara teori ia mempunyain kekuasaan mutlak,
namun dalam prakteknya banyak pembatasan. Negara merupakan sebuah intitusi baru
bagi mereka, mereka terbiasa hidup dalam kebebasan, mereka tidak akan begitu
saja mau tunduk pada kekuasaan baru. Meskipun Nabi Muhammad sudah membangun
kontrol di hampir seluruh jazirah Arab, ia tidak bisa menjadikan orang-orang
nomad untuk tunduk sepenuhnya. Oleh karena itu, Abu Bakar harus berhati-hati.
Hal ini dapat dilihat dalam pidato penobatannya sebagi khalifah: “Wahai
manusia, aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah
yang terbaik diantaramu. Maka jika aku melaksanakan tugasku dengan baik,
ikutilah aku, tapi sebaliknya bila aku salahn luruskanlah. Orang yang kamu
anggap kuat, aku anggap lemah sampai aku dapat mengambil hak darinya. Sedangkan
yang kamu anggap lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan hakknya
padanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, jika aku tidak patuh pada Allah dan Rasul-Nya, jangan taati
aku”.
Beberapa hal-hal
penting yang dilakukan Abu Bakar setelah resmi menjadi khalifah, sebagai
berikut:
1.
Memerangi kaum murtad
Hal pertama yang dilakukan
Abu Bakar setelah menjadi khalifah yaitu memerangi kaum murtad. Setelah berita
wafatnya Rasulullah tersebar luas, sekelompok orang yang baru masuk islam
memberikan penolakan untuk membai’at Abu Bakar sebagai khalifah, bahkan mereka
juga menentang islam. Menurut pemahaman mereka, agama ini terkait erat dengan
hidupnya Rasulullah SAW, dengan demikian mereka menggap bahwa islam telah mati
seiring wafatnya Nabi pembawanya. Mereka menganggap bahwa masuknya mereka
kedalam islam disebabkan oleh perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dan
dengan kematian beliau maka batallah perjanjian tersebut. Mereka adalah para
muallaf yang belum memahami prinsip-prinsip keimanan dan ajaran islam yang
lain, disebabkan belum cukup waktu bagi Nabi Muhammad yang sangat tidak mungkin
dapat dijangkau oleh utusan agama yang datang pada mereka. Abu Bakar
menyelesaikan persoalan ini dengan peperangan, perang ini disebut Perang Riddah
(perang melawan kemurtadan).
Selain perang untuk
melawan orang-orang murtad, khalifah Abu Bakar juga menumpas nabi-nabi palsu
dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Selama tahun-tahun terakhir
kehidupan Nabi SAW, telah muncul nabi-nabi palsu di wilayah Arab bagian selatan
dan tengah. Yang pertama mengaku memegang peran kenabian muncul di Yaman, yang
bernama Aswad Ansi. Berikutnya adalah Musailamah al-Kadzab yang mengaku sebagai
nabi dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad telah mengangkat dirinya sebagai mitra
di dalam kenabian. Penganggapan lainnya adalah Thulaihah al-Asadi dan Sajjah
ibn Haris, seorang wanita dari Arabia Tengah.
Sementara itu,
orang-orang yang enggan membayar zakat karena mereka menganggap bahwa zakat
adalah serupa pajak yang dipaksakan dan penyerahannya ke perbendaraan pusat di
Madinah sama artinya dengan penurunan kekeuasaan, suatu sikap yang tidak
disukai oleh suku-suku Arab karena bertantangan dengan karakter mereka yang
independen. Alasan lainnya adalah kesalahan memahami ayat Al-Qur’an yang
menerangkan mekanisme pemungutan zakat (surat at-Taubat: 301). Mereka menduga
bahwa hanya Nabi saja yang berhak memungut zakat.
2.
Pengumpulan Al-Qur’an
dalam satu mushaf
Selama peperangan untuk
menumpas orang-orang murtad, nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan
membayar zakat, mengakibatkan banyak para penghafal Al-Qur’an (Qari’) yang wafat.
Kondisi tersebut membuat Umar bin Khaththab cemas karena mungkin makin
bertambahnya para Qari’ yang wafat dalam peperangan akan menghilangkan sebagian
Al-Qur’an. Dengan alasan inilah akhirnya Umar mengusulkan kepada Abu Bakar
untuk memusyawarahkan dalam hal pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Pada mulanya Abu Bakar
tidak menyetujui usulan Umar tersebut, dengan alasan Nabi SAW tidak pernah
melakukan hal itu, bagaimana mungkin dia melangkahi Nabi. Namun tidak lekas
menyerah, dia terus berusaha meyakinkan Abu Bakar dan menjelaskan sisi positif
dari upaya pengumpulan Al-Qur’an tersebut. Dan akhirnya Abu Bakar bersedia
menerima usulan Umar itu dan memberikan tugas tersebut kepada Zaid ibn Tsabit
untuk menulisnya.
Zaid ibn Tsabit mulai
menelusuri keberadaan Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari yang tertulis di
pelepah kurma dan lempengan batu putih serta dari hafalan para shahabat, sampai
beliau mendapatkan akhir surat at-Taubah dari Abu Khuzaimah al-Anshari yang
tidak didapatkan dari orang lain seorang pun. Setelah terkumpul semua, kemudian
seluruh lembaran Al-Qur’an disimpan di rumah Abu Bakar sampai beliau meninggal
dunia. Kemudian disimpan oleh Umar selama beliau hidup, dan selanjutnya
disimpan oleh Hafshah binti Umar.
3.
Melakukan ekspansi
(perluasan daerah kekuasaan) ke beberapa wilayah
Sesudah memulihkan
ketertiban di dalam negeri, Abu Bakar kemudian mengalihkan perhatiannya untuk
memperkuat perbatasan dengan Persia dan Byzantium (Romawi). Ekspansi pertama
yaitu ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid ibn Walid pada tahun 634 M.
Pada ekspansi ini, pasukan Islam dapat menguasai dan menaklukkan Hirah, yaitu
sebuah kerajaan Arab yang loyal kepada Kisra di Persia. Daerah ini merupakan
daerah penyebaran bangsa Arab dari selatan, namun mereka dijadikan benteng
terakhir oleh Persia untuk membendung laju tentara Romawi. Daerah ini yang
secara strategis sangat penting bagi umat Islam dalam meneruskan penyebaran
agama ke wilayah-wilayah di belahan utara dan timur.
Ekspansi berikutnya
yaitu ke wilayah Romawi Timur (Byzantium) yakni kerajaan Ghassaniyah yang
merupakan .daerah protektorat (wilayah yang berada dibawah lindungan negara
lain) Romawi dan menjadi benteng pertahanan dari serbua Persia. Ekspansi ini
dipimpin oleh empat panglima yaitu Abu Ubaidah, Yazid ibn Abi Sofyan, ‘Amr ibn
Ash dan Syurahbil. Ini sudah pernah dilakukan sebelumnya yang dipimpin oleh
Usamah dengan tujuan memberikan pelajaran kepada wilayah tersebut karena
kekalahan yang pernah diderita umat Islam dalam perang Mut’ah, selain keinginan
Usamah membalas pembunuhan ayahnya Zaid. Ekspansi yang dilakukan pasukan Islam
dengan empat panglima perangnya dan dikuatkan lagi dengan kehadiran Khalid ibn
Walid untuk menguasai wilayah tersebut, karena kemenangan atasnya akan sangat
besar artinya bagi penguasaan daerah-daerah lain di barat dan utara. Faktor
penting dilakukannya ekspansi ini dengan pengiriman pasukan besar-besaran yang
dipimpin oleh empat panglima dan ditambah Khalid ibn Walid adalah karena umat
Islam Arab memandang wilayah ini (Suriah) sebagai bagian dari semenanjung Arab,
yang didiami oleh suku bangsa Arab yang berbicara menggunakan bahasa Arab pula.
Dengan demikian dari sudut keamanan umat Islam (Arab) ataupun dari sudut
pertalian rasional antara kaum muslimin dengan orang-orang Suriah sangatlah
penting.
Ketika pasukan Islam
sedang menghadapi peperangan di front Sirian Damascus, Baalbek, Homs,
Yerussalem, Mesir, dan Mesopotamia, Abu Bakar meninggal dunia pada Senin 23
Agustus 634 M setelah menderita sakit selama beberapa hari. Dalam menjalankan
politik pemerintahannya selama 2 tahun, 3 bulan dan 11 hari, Abu Bakar
mengedepankan aspek musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan, sehingga
secara internal kondisi pemerintahannya stabil. Pemerintahan Abu Bakar dikenal
juga dengan pemerintahan yang sentralistik sebagaimana Nabi telah jalankan
pemerintahan sebelumnya, yaitu menggabungkan antara otoritas legislatif,
eksekutif dan yudikatif yang terpusan pada dirinya. Hal ini tidak mengurangi
bobot demokrasi, karena meskipun tersentral pada pundaknya, masyarakat merasa
senang dan kagum atas politik yang dijalankannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Nama lengkap Abu
Bakar adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin
Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib al-Quraisyi at-Taimi,
mempunyai pribadi berakhlak mulia. Beliau wafat pada Senin 23 Agustus 634
M.
- Kekhalifahan Abu
Bakar tidak ditunjuk langsung oleh Nabi SAW, melainkan melalui musyawarah
beberapa kaum muslimin.
- Peran-peran
penting yang dilakukan khalifah Abu Bakar yaitu memerangi orang-orang
murtad dan orang yang enggan membayar zakat, pengumpulan Al-Qur’an dalam
satu mushaf, serta melakukan ekspansi ke beberapa wilayah (Persia dan
Romawi).
- Abu Bakar menjadi
khalifah selama 2 tahun, 3 bulan dan 11 hari dengan bentuk pemerintahan
yang sentralistik.